top of page
  • Instagram

Mencari Kebebasan Tidak akan Pernah Selesai

  • Writer: Baskhoro Dewantoro
    Baskhoro Dewantoro
  • Jul 12, 2021
  • 30 min read
“HAPPINESS ONLY REAL WHEN WE SHARED” – Alexander Supertramp

LANGKAH MENUJU KEBEBASAN

Seorang pemuda bernama, Christopher Johnson McCandless atau dikenal pula dengan nama samarannya sebagai ‘Alexander Supertramp’. Pada Mei 1990, dia lulus dengan nilai rata-rata 3,72 dalam bidang Antropologi, Universitas Emory, Atlanta. Kelulusan tersebut membawanya meraih gelar serta penghargaan dari kampusnya. Beberapa tahun berselang, tepatnya pada Agustus 1992, Chris ditemukan mati akibat kelaparan yang menyengat di Stampede Trail, Alaska.


Cerita perjalanan Christopher Johnson McCandless ini, ditulis oleh Jon Krakauer pada 1996 dalam buku yang berjudul Into The Wild. Lalu, pada 2007, Sean Penn sebagai sutradarawan mengisahkan cerita tersebut dalam medium film dengan judul yang sama.


Perjalanan panjang selama lebih dari dua tahun, Chris tiba di Alaska. Kegembiraan yang tak tertahankan membuatnya menulis di atas selembar kayu lapis yang sudah lapuk, tepatnya berada di dalam bis yang tidak berfungsi, berlokasi di Stampede Trail. Pekikan kebahagiaan itu berbunyi:


“TWO YEARS HE WALKS THE EARTH. NO PHONE, NO POOL, NO PETS, NO CIGARETTES. ULTIMATE FREEDOM. AN EXTREMIST. ANAESTHETIC VOYAGER WHOSE HOME IS THE ROAD. ESCAPED FROM ATLANTA. THAT SHALT NOT RETURN, ‘CAUSE “THE WEST IS THE BEST.” AND NOW AFTER TWO RAMBLING YEARS COMES THE FINAL AND GREATEST ADVENTURE. THE CLIMACTIC BATTLE TO KILL THE FALSE BEING WITHIN AND VICTORIOUSLY CONCLUDE THE SPIRITUAL REVOLUTION. TEN DAYS AND NIGHTS OF FREIGHT TRAINS AND HITCHHIKING BRING HIM TO THE GREAT WHITE NORTH. NO LONGER TO BE POISONED BY CIVILIZATION HE FLEES. AND WALKS ALONE UPON THE LAND TO BECOME LOST IN THE WILD.

ALEXANDER SUPERTRAMP, MAY 1992.


Pada tahun yang sama, tepatnya 12 Agustus 1992, ketika jejak kebahagiaannya perlahan-lahan memudar, anak pecinta Tolstoyan ini pun menuliskan di halaman yang dirobek dari karya Taras Bulba, Nikolai Gogol. Kalimat itu berbunyi:


“S.O.S I NEED YOUR HELP. I AM INJURED, NEAR DEATH, AND TOO WEAK TO HIKE OUT OF HERE I AM ALL ALONE, THIS IS NO JOKE. IN THE NAME OF GOD, PLEASE REMAIN TO SAVE ME. I AM OUT COLLECTING BERRIES CLOSE BY AND SHALL RETURN THIS EVENING. THANK YOU, CHRIS MCCANDLESS. AUGUST?”


MENILIK KE DALAM KEHIDUPAN


Chris dibesarkan di keluarga yang mapan, nyaman dan tentram. Memiliki ekonomi yang berada di atas “kenormalan”, keluarganya bertempat tinggal di Chesapeake Beach, Maryland, di depan rumah mereka terparkir mobil Chevy Suburban besar dan Cadillac Putih, belum lagi Corvette’69 yang berada di dalam garasi.


Ayahnya bernama Walt McCandless, sebelumnya dia adalah seorang insinyur kedirgantaraan terkemuka di Amerika Serikat, dia merancang sistem radar canggih untuk pesawat ulang-alik, serta proyek berprofil tinggi lainnya saat bekerja di National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan Hughes Aircraft pada 1960 dan 1970-an.


Hingga beberapa tahun berselang, tepatnya pada 1978, Walt mendirikan bisnis bersama partnernya yaitu, Billie McCandless (ibu kandung Chris). Mereka mendirikan perusahaan konsultan User System Incorporated.


Keluarga besar McCandless memiliki delapan anak, seorang adik yang paling dekat dengan Chris yaitu Carine sebagai adik kandungnya, enam lainnya adalah saudara tiri dari pernikahan pertama Walt bersama Marcia.


Sewaktu di Universitas Emory, Chris adalah seorang anak yang brilian. Dia sempat menjadi kolumnis sekaligus editor dalam surat kabar mahasiswa yang bernama, ‘The Emory Wheel’, tulisan-tulisannya di antara lain; “memojokkan” Jimmy Carter dan Joe Biden, ikut menyerukan pengunduran diri Jaksa Agung Edwin Meese, mengecam para pemikir Alkitab kanan Kristen, mendesak kewaspadaan terhadap ancaman Soviet, “menghukum” Jepang atas berburu paus, serta ikut membela Jesse Jackson sebagai calon presiden yang layak.


Tidak mengherankan, setelah dia lulus dari Universitas Emory mendapatkan penawaran dari Phi Beta Kappa, yaitu suatu tempat perhimpunan kehormatan tertua untuk seni dan ilmu liberal di Amerika Serikat. Namun, Chris menolak dengan alasan gelar dan penghargaan tidaklah relevan, “Insisting that titles and honors are irrelevant” dalam buku Into The Wild.


Chris tidak hanya pandai di atas tumpukkan buku dan kertas, dia seorang pelari atletik. Sewaktu dia di Wilbert Tucker Woodson High School, lembaga publik Fairfax, Virginia, dia adalah kapten lari regu lintas negara.


Chris selalu membawa timnya berlari ke arah yang tidak menentu, mendorong timnya menuju ke arah wilayah-wilayah yang tidak diketahui, tujuannya adalah untuk tersesat ataupun kehilangan arah.


Latihan berlari yang dilakukan oleh Chris seperti penggambaran, “spiritual exercise” atau latihan spiritual. Teman setimnya bernama Eric Hathaway mengatakan, “He’d tell us to think about all the evil in the world, all the hatred and imagine ourselves running against the forces of darkness, the evil wall that was trying to keep us from running our best. he believed doing well was all mental, a simple matter of harnessing whatever energy was available. As impressionable high school kids, we were blown away by that kind of talk.”


Dia tidak pernah “bermain-main” dengan latihan spiritualnya, selalu menganggapnya serius hal tersebut. Maxie Gilmer, teman perempuan yang berada di dalam timnya mengatakan, “I can remember standing at the finish line, watching him run, knowing how badly he wanted to do well and how disappointed he’d be if he did worse than he expected. After a bad race or even a bad time trial during practice, he could be really hard on himself. And he wouldn’t want to talk about it. If I tried to console him, he’d act annoyed and brush me off. He internalized the disappointment. He’d go off alone somewhere and beat himself up.”


Jika saya mengatakan, bahwasannya Christopher Johnson McCandless mulai dari ekonomi, pendidikan hingga kebugaran-kesehatan hampir memiliki “kesempurnaan”, semuanya seperti berada di atas rata-rata. Namun, sesuatu yang masih belum terjadi, apa yang membuat Christopher Johnson McCandless memutuskan untuk pergi ke Alaska?


Semua bermula pada 1986, sewaktu Chris pergi ke El Segundo, California, suatu tempat yang dia habiskan selama enam tahun pertama hidupnya. Dia menghubungi sejumlah teman lama ataupun keluarga yang masih tinggal di sana, hingga pada akhirnya Chris mengumpulkan fakta-fakta pernikahan Walt yang pertama.


Sebuah fakta yang belum dia ketahui sepanjang masa hidupnya, yaitu perceraian antara Walt dan Marcia, istri sebelum Billie. Perceraian dalam pernikahan Walt yang pertama bukanlah suatu perpisahan yang “baik-baik”. Setelah Walt jatuh cinta dengan Billie, lama sehabis melahirkan Chris. Walt masih tetap melanjutkan hubungannya secara “sembunyi-sembunyi” dengan Marcia. Dia membagi waktunya di antara dua rumah tangga dan dua keluarga.


Kebohongan yang disembunyikan itupun akhirnya diketahui oleh Chris, kemarahan yang memuncak membuatnya mempelajari segala sesuatu yang mengganggu pikirannya, seperti yang diungkapkan oleh Carine selaku adik kandungnya, “Chris was the sort of person who broded about thing. If something bothered him, he wouldn’t come right out and say it. He’d keep it to himself, harboring his resentment, letting the bad feelings build and build.”


Seiring berjalannya waktu, ketika “puzzle-puzzle” kebenaran mulai terungkap, perasaan yang terkekang sebelumnya pun menjadikan Chris seorang yang pemarah, atas dasar dia merasa benar sendiri.


Pada 1989, ketika kebencian Chris terhadap kedua orang tuanya semakin mengental, amarah yang disalurkannya pun tidak hanya kepada orang tuanya. Namun, kepada lingkungan secara luas, yaitu terhadap ketidakadilan di dunia. Billie mencoba untuk mengingat, “Chris started complaining about all the rich kids at emory.” Di dalam tulisan Jon Krakauer, “More and more of the classes he took addressed such pressing social issues as racism and world hunger and inequities in the distribution of wealth. But despite his aversion to money and conspicuous consumption, Chris’s political leaning could not be described as liberal.”


Dia menginginkan kebebasan, seperti diungkapkan Andy Horowitz, salah satu teman larinya sewaktu di tim Woodson, “He was born into the wrong century. He was looking for more adventure and freedom than today’s society gives people.”


Ketika Jon Krakauer bertemu dengan Westenberg, salah satu orang yang memberikan tumpangan pada Chris sewaktu perjalanannya menuju Alaska. Westenberg menceritakan percakapannya bersama Chris mengenai hubungan Chris bersama dengan kedua orang tuanya. “Since they won’t ever take me seriously, for a few months after graduation I’m going to let them think they are right, I’m going to let them think that I’m “coming around to see their side of things” and that our relationship is stabilizing. And then, once the time is right, with no abrupt, swift action I’m going to completely knock them out of my life. I’m going to divorce them as my parents once and for all and never speak to either of those idiots again as long as I live. I’ll be through with them once and for all, forever.”


Sebuah rahasia yang tidak diketahui oleh Chris sepanjang hidupnya, akhirnya ditemukan seiring berjalannya waktu. Dia pun memutuskan untuk menjauh bahkan kalimat “menceraikan” kedua orang tuanya pun keluar. Namun, kebebasan apa yang sebenarnya diinginkan oleh Alexander Supertramp ini?”


Christopher Johnson McCandless mengganti namanya menjadi Alexander Supertramp selama petualangannya menuju ke alam bebas. Alex mencoba untuk menolak segala “modernitas” dari sebuah zaman dan memutus “rantai ikatan” manusia, dia memilih untuk mengasingkan diri, lalu menjauh dari segala keriuhan-kericuhan dari permasalahan yang ada di dunia.


Seperti yang ditulis oleh Jon Krakauer, “Chris submitted to Walt’s authority through high school and college to a surprising degree, but the boy raged inward all the while. He brooded at length over what he perceived to be his father’s moral shortcomings, the hypocrisy of his parents’ lifestyle, the tyranny of their conditional love. Eventually, Chris rebelled-and when he finally did, it was with characteristic immoderation.”


Pada 16 Januari 1991, Chris sudah mengarungi berbagai tempat, hingga dia sampai di perbatasan antara Amerika Serikat dan Mexico, di dalam perjalanannya dia sama sekali tidak berbicara dengan manusia, bahkan tidak bertemu dengan manusia selama 36 hari, keadaan tersebut dicatat olehnya di dalam buku perjalanan dan ditulis ulang oleh Jon Krakauer, “On January 16, McCandless left the stubby metal boat on a hummock of dune grass southeast of El Golfo de Santa Clara and started walking north up the deserted beach. He had not seen or talked to another soul in thirty-six days. For that entire period he subsisted on nothing but five pounds of rice and what marine life he could pull from the sea, an experience that would later convince him he could survive on similarly meager rations in the Alaska bush.”


Chris mencari “kehidupannya” sendiri, bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya, atau dapat dikatakan nomaden, mengganti namanya menjadi ‘Alexander Supertramp’, memberikan seluruh tabungannya ke bank amal sebesar 24.000 dolar ke OXFAM Amerika, yaitu sebuah tempat yang didedikasikan untuk melawan kelaparan, mengabaikan mobil Datsun kuningnya yang dia beli secara pribadi terjebak di lumpur, lalu membakar seluruh uang dari dompetnya.


Seperti yang ditulis oleh Jon Krakauer, “He was an extremely intense young man and possessed a streak of stubborn idealism that did not mesh readily with modern existence.”


Jon Krakauer memiliki profesi sebagai penulis di majalah Outside, Amerika Serikat. Di sela-sela waktunya, dia mendedikasikan untuk menulis buku Into The Wild, Jon mencoba memahami jalan pikiran dari Christopher Johnson McCandless, dapat saya katakan bahwa buku tersebut sebagai “fragmen-fragmen” pikiran, perjalanan dan tindakan selama pengembaraan Chris menjadi Alex dari 1990-1992, hingga menutup mata. Jon sendiri mengatakan, “I won’t claim to be an impartial biographer.”


Selama di perguruan tinggi, Chris mulai meniru asketisme dan moral Tolstoy, kondisi tersebut membuat khawatir orang-orang terdekatnya. Ketika dia pertama kali tiba di Alaska, dia tidak memiliki keraguan, bahkan ketakutan dari bahaya yang akan terjadi. Dia mencari kesulitan dan penolakan Tolstoyan yang selama ini dipahami olehnya.


Seperti yang diungkapkan oleh Gallien, seseorang yang memberikan Chris tumpangan sewaktu menuju ke Alaska, “Alex’s cheap leather hiking boots were neither waterproof nor well insulated. His rifle was only 22 caliber, a bore too small to rely on if he expected to kill large animals like moose and caribou, which he would have to eat if he hoped to remain very long in the country. He had no ax, no bug dope, no snowshoes, no compass.”


Selama perjalanan mereka menjauh dari Denali National Park, Alaska. Gallien mencoba menghentikan langkah Chris untuk masuk ke pedalaman Alaska dengan menceritakan beragam dari marabahaya, di antaranya hewan-hewan liar. Namun, senyatanya Chris sama sekali tidak memperlihatkan kekhawatiran di raut wajahnya.


SIFAT DASAR MANUSIA


Setiap manusia memiliki sifat dasar, antar setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda dan bisa pula sebaliknya. Namun, setiap manusia memiliki sifat dasar yang sama yaitu “mencari” entah untuk ‘menjawab’ sebuah keraguan, tujuan, maupun untuk berkembang, pada intinya keadaan tersebut mendorong setiap manusia agar terus “melangkah maju” dalam anggapan masing-masing.


Sejak awal mula, “kita” yaitu manusia, merupakan anggota satu family Homo sapiens, spesies sapiens yang memiliki arti ‘bijak’ dalam genus Homo yang memiliki arti manusia. Dalam buku Sapiens: A Brief History of Humankind yang ditulis oleh Yuval Noah Harari, manusia pertama kali berevolusi di Afrika Timur sekitar 2,5 juta tahun silam dari satu genus kera yang lebih tua, Australopithecus yang berarti “Kera Selatan”.


Sekitar 2 juta tahun silam, sebagian laki-laki dan perempuan purba meninggalkan tanahnya untuk menempuh perjalanan melalui Afrika Utara, Eropa dan Asia, serta bermukim di wilayah-wilayah tersebut, dengan sebuah alasan karena kelestarian hutan bersalju di Eropa Utara membutuhkan sifat-sifat yang berbeda dengan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di rimba Indonesia, populasi-populasi manusia pun berevolusi ke arah berbeda-beda.


Selama kurang dari 2 juta tahun, kita “manusia” merupakan makhluk yang lemah dan selalu berada di “pinggiran”. Manusia yang hidup sejuta tahun silam, meskipun mereka memiliki otak yang besar dan alat batu yang tajam masih merasa ketakutan terhadap para pemangsa, mereka jarang mengejar hewan buruan besar dan menyambung hidup terutama mengumpulkan tumbuhan, menangkap serangga, mengincar hewan kecil dan melahap bangkai yang disisakan oleh hewan pemakan daging lainnya.


Alat batu purba adalah pemecah tulang untuk memperoleh tulang sumsum hewan, sejumlah peneliti percaya itulah relung asli kita di alam. Sebagai sebuah contoh, kita pada masa purbakala hanya berbekal alat batu, kita menyaksikan kawanan singa menjatuhkan jerapah, kita menanti para singa dengan sabar hingga melahap semua daging yang mengenyangkan perutnya. Namun, giliran kita belumlah tiba, masih ada hewan-hewan lain yang memakan sisa-sisa yang ditinggalkan, seperti kera besar bahkan hyena, baru setelahnya kita secara berkelompok mendekati bangkai jerapah tersebut sambil menyambar remah-remah yang bisa dimakan.


Baru sekitar 400.000 tahun silam, beberapa spesies manusia mulai mengejar hewan buruan secara rutin dan baru dalam 100.000 tahun silam dengan munculnya Homo sapiens, manusia langsung melompat ke puncak rantai makanan.


Periode sekitar 70.000 sampai sekitar 30.000 tahun lalu menjadi saksi terciptanya perahu, lampu minyak, busur dan anak panah serta jarum. Sebuah lompatan dari tengah menuju ke puncak tersebut memiliki gelombang efek yang sangat besar.


Hewan-hewan yang berada di puncak piramida, seperti singa dan hiu berevolusi ke tingkat teratas secara bertahap, bahkan selama jutaan tahun! Sehingga ekosistem masihlah dapat memungkinkan mengembangkan sistem keseimbangan yang mencegah singa dan hiu agar tidak menyebabkan kerusakan terlalu besar.


Sementara itu, kita memuncaki piramida dengan sedemikian cepat, hingga efeknya lingkungan tidak sempat menyesuaikannya. Di sisi lain, manusia sendiri gagal untuk menyesuaikan diri. Di karenakan kita selalu berada pada “tingkatan terendah” sebelumnya, kita penuh dengan ketakutan dan kecemasan mengenai posisi kita, pada saat yang bersamaan di atas puncak piramida, kita menjadi dua kali lipat lebih kejam dan berbahaya.


Manusia selalu memiliki sifat dasar “mencari”. Pencarian manusia pada zaman dahulu bukanlah seperti manusia pada masa sekarang, tentu memiliki perbedaan. Dahulu, sebuah lahan maupun makanan menjadi pokok yang utama. Sedangkan, sekarang manusia tidak perlu bersusah-susah untuk mencari makan, dalam artian kita tidak lagi “begadang” semalaman untuk menunggu hewan liar yang ‘cupu’ agar dapat kita santap, melainkan sekarang berubah menjadi bekerja agar memenuhi segala kebutuhan yang sesuai dengan perkembangan dunia.


Christopher Columbus, seorang pengeksplor dan navigator berasal dari Italia, dia menyelesaikan empat pelayaran melintasi Samudra Atlantik, membuka cara untuk eksplorasi dan kolonisasi Eropa di Amerika. Ekspedisi ini ditanggung oleh Monarki Katolik Spanyol, pelayaran tersebut melahirkan sebuah kontak Eropa pertama kalinya dengan Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.


Nicolaus Copernicus, dia seorang astronom, maetmatikawan dan ekonom berkebangsaan Polandia. Dia yang mengembangkan teori heliosentris, teorinya mengenai matahari sebagai pusat tata surya, sebuah teori yang “berbalik arah” dari geosentris, yaitu menempatkan bumi sebagai pusat alam semesta. Seiring berjalannya waktu teori tersebut mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan ini.


Mengapa kita melakukan itu semua? Mengapa menjelajahi bumi? Lalu bahkan mengapa kita mencari tahu pusat tata surya? Sedangkan kebutuhan kita sebelumnya hanyalah lahan dan pangan!


Siapa pun, mau Homo sapiens, Christopher Columbus, Nicolaus Copernicus atau bahkan Christopher Johnson McCandless memiliki sifat dasar “mencari” atau sebuah “pencarian”, entah jati diri, hasrat ataupun sebuah petunjuk lainnya dalam kehidupan masing-masing.


Kita pun tanpa disadari melakukan sebuah pencarian, pencarian yang berbeda tentunya tidak berburu ke hutan, tidak mencari pulau yang bisa ditempati, ataupun mencari gua-gua yang bisa dihuni. Namun, kita mencari kehidupan yang layak, menginginkan sebuah “kedamaian” (dalam anggapan masing-masing), pada intinya setiap manusia menginginkan kehidupan yang nyaman, tentram dan asri (sesuai kehendaknya).


Tidak bisa dipungkiri, dalam sebuah pencarian tidaklah selalu mulus seperti diterpa angin di pinggir lautan, setiap perjalanan memiliki jalan terjal, bebatuan besar hingga mungkin tanah longsor dalam sebuah permasalahan yang menimpia individu.


Homo sapiens yang sama dengan kita, pada dahulu kala membunuh saudara-saudara kita sebelumnya Neanderthal, Christopher Columbus salah dalam membaca peta, bahkan Nicolaus Copernicus dicemooh oleh orang-orang akibat pada masa tersebut Gereja memiliki pengaruh yang lebih kuat dari hari ini.


Permasalahan-permasalahan yang memuncak dalam setiap individu membuat sebuah keinginan yang didasari pada ego, salah satunya jalan kebebasan. Sama seperti kita sewaktu berada di atas piramida. Kenyataan yang tidak disukai membuat setiap individu memiliki harapan yang berbalik arah dari problematika, dalam sebuah contoh kita selalu memiliki kekurangan makanan, kita memiliki harapan kelak di kemudian hari agar tidak kekurangan makanan lagi. Hingga, pada akhirnya kita pun mencari kebebasan-kebebasan menurut “kepercayaan” masing-masing.


KOTAK PANDORA KEBEBASAN


Sekarang yang menjadi sebuah pertanyaan, apa arti dari kebebasan sesungguhnya? Apakah mampu berjalan dengan bebas tanpa hambatan? Apakah mampu berteriak pada malam hari? Apakah mampu membeli semua barang yang lagi diskon di sosial media? Atau bahkan, mampu mempengaruhi orang-orang agar mengikuti kehendak kita?


Jika kebebasan yang kita inginkan hanyalah ruang gerak karena atas suatu permasalahan yang tiada henti-hatinya, lalu di dalam diri kita muncul suatu keinginan untuk melihat tanpa batas, seperti berdiri di atas puncak Burj Khalifa atau menyelam di palung Mariana. Tentunya akan tercipta kembali “Alexaner Supertramp” lainnya.


Mencari kebebasan di sini dalam artian sepenuhnya yaitu mengikuti kemauan "ego", terlebih jika suatu ego yang didasari oleh “kebencian” maupun ketidakterimaan atas permasalahan berdasarkan realita yang dihadapinya. Seringkali arti kebebasan setiap individu memiliki perbedaan, tetapi masih daam satu cakupan yaitu, ‘menginginkan keluar dari kerangkeng ilusi’.


Percayalah, Christopher Johnson McCandless telah mendapatkan “semuanya”, keluarganya memiliki materi yang berlimpah, memiliki otak yang lancar, memiliki daya tarik dari wajah maupun kepribadiannya. Namun, kebebasan yang diinginkannya adalah menjauh dari keriuhan-permasalahan dan hubungan intim kemanusiaan.


Kebencian yang menumpuk di dalam diri Christopher Johnson McCandless melahirkan "ego” yang di mana dia merasa selalu benar, merasa mengetahui segala hal terhadap kondisi kehidupan yang akan dilaluinya. Di tulis dalam Into The Wild ketika Crhis mengetahui hubungan Walt dan Billie, dia mengungkapkan kepada adiknya Carine, “entire childhood seem like a fiction.” Hingga, pada akhirnya dia merasa bahwa permasalahan dunia dan hubungan kemanusiaan adalah sebuah “kerangkeng” yang membuatnya tidak dapat terbebas.


Sebelum dia memutuskan untuk pergi ke “alam liar”, dia dengan sengaja menerima semua arahan dari Walt hanya atas karena ayahnya, dia tetap menempuh pendidikan bahkan lulus dengan terbaik. Namun, di dalam dirinya penuh dengan amukan, amarah dan kebencian. Pada akhirnya segala amukan tersebut membuatnya mencari sendiri agar lepas dari kerangkeng yang membelenggunya. Sejalan yang diucapkan oleh Carine, “Chris was the sort of person who brooded about thing,” Carine mengamatinya, “if something bothered him, he wouldn't come right out and say it. He’d keep it to himself, harboring his resentment, letting the bad feelings build and build.”


Pada April, 1992, Christopher Johnson McCandless berjalan sendirian ke alam liar bagian utara pegungungan McKinley, empat bulan kemudian badannya ditemukan membusuk oleh sekelompok pemburu rusa, sebuah jarak yang berdekatan dengan Nasional Denali Park. Pada waktu itu kematiannya masihlah siampang siur, ada yang berspekulasi bahwa dia dibunuh. Namun, segalanya telah terjawab, dia merasakan kelaparan yang menyengat hingg meracuni dirinya sendiri secara tidak sengaja.


PARADOKS KEBEBASAN


Manusia memiliki sifat dasar “mencari” ataupun “pencarian” entah kebebasan dalam hal ruang gerak ataupun perekonomian. Dua instrument tersebut tidak dapat disangkal pada zaman sekarang, bahkan terdapat ungkapan “Time is Money” orang-orang sempat menyamakan waktu dengan uang.


Jika menginginkan kebebasan berdasarkan ego yang didasari oleh kebencian, hal tersebut masihlah memiliki “dinding-dinding” yang membentang, dalam artian sepenuhnya kita masihlah tidak sepenuhnya benar-benar bebas, secara tidak sadar kita masih berada di dalam “kerangkeng” meskipun “ilusinya” tidak terlalu tampak.


Mari kita menilik kembali contoh dari perjalanan Christopher Johnson McCandless, dia telah “menyerahkan” segala kehidupannya, memilih untuk menjadi seorang gelandangan dari tempat ke tempat, bahkan namanya pun menjadi “Supertramp”, perekonomian yang mapan dari keluarganya pun masihlah belum dapat membebaskan dia sepenuhnya.


Kebebasan yang dia inginkan sangatlah terlhiat jelas, dia mencari ruang gerak berdasarkan tulisan di atas kayu lapuknya sewaktu di Stampede Trail, memutus rantai hubungan seperti percakapan antara Westenberg dan Jon Krakauer, terlebih jika berbicara mengenai materi, mungkin Chris hanya tertawa mendengar kalimat tersebut.


Di saat yang bersamaan sewaktu pengembaraannya pada 1991, dia tiba di kota Bullhead, Arizona. Dia berhenti menjadi nomaden selama dua bulan di dalam satu tempat, kondisi itu menjadikan kota Bullhead sebagai perhentian terlama selama pengembaraannya. Percaya atau tidak, dia mengambil pekerjaan penuh di McDonald’s, sewaktu dia mengambil pekerjaan tersebut, dia memperkenalkan dirinya dengan nama asli yaitu Christopher Johnson McCandless, bukan sebagai Alexander Supertramp.


Terlepas dari itu semua, Chris selalu mendorong dirinya untuk menyelam di antara ketidaksukaan. Selepas lulus dari SMA, dia tidak menginginkan masuk ke perguruan tinggi. Namun, kedua orang tuanya memaksanya untuk masuk, dengan sebuah alasan agar kelak di kemudian hari dia mendapatkan pekerjaan yang mapan, serta kehidupan yang “bersahaja”.


Seperti yang dituliskan dalam buku Into The Wild, “He had spent the previous four years, as he saw it, preparing to fulfill an absurd and onerous duty: to graduate from college. At long last he was unencumbered, emancipated from the stifling world of his parents and peers, a world of abstraction and security and material excess, a world in which he felt grievously cut off from the raw throb of existence.” Paralel yang sama seperti ketika dia mengambil pekerjaan di McDonald’s, keinginannya agar memperoleh pendapatan yang digunakannya untuk pergi ke Alaska.


Keinginan dari Chris sebelumnya yaitu melepaskan rantai hubungan manusia, serta menolak segala modernitas, lalu dia mencari kebebasan yang didasari ego berakar dari sebuah “ketidakterimaan”. Di dalam kasusnya pun dia masihlah memiliki dinding penghalang, dalam artian dia tidak sepenuhnya terbebas dari semua hal tersebut.


Pada hari Kamis, pertengahan Januari, Chris sedang mendapati tumpangan dari orang tua, bernama Ron Franz. Sewaktu Chris menempuh perjalanan ke Alaska, Ron bahkan ingin mengadopsi Chris sebagai anaknya, akibat sebelumnya dia telah kehilangan anak aslinya karena kecelakaan. “So was my father. And I was their only child. Now that my own boy’s dead, I’m the end of the line. When I’m gone, my family will be finished, gone forever. So I asked Alex if I could adopt him, if he would be my grandson.” McCandless, uncomfortable with the request, dodged the question: “We’ll talk about it when I get back from Alaska, Ron.”


Chris mengambil pekerjaan, menumpang dari satu mobil ke mobil lainnya, menginap dari rumah ke rumah lainnya, di dalam kasusnya pun dia masihlah memiliki “dinding penghalang”, dalam artian kebebasannya pun selama pengembaraan masihlah terbatasi, mungkin akibat keadaan itu pula dia masih belum bisa menuliskan pekikan kebahagiaannya seperti di atas kayu lapuk.


Jika kasusnya seperti Christopher Johnson McCandless, kebebasan yang sebenarnya kita cari hanyalah berada di dalam kepala, yaitu pikiran. Iya benar, hanya pikiran. Meskipun kebebasan-kebebasan dalam ruang gerak pun masihlah harus dicari, tetapi “tempat-tempat” tersebut masihlah memiliki batasan, seperti contoh sebelumnya. Hanya satu tempat, yaitu kebebasan di dalam kepala yang tidak memiliki batasan.


Manusia dituntut untuk hidup bersama sosial, itu sesuatu yang harus dan pasti. Homo sapiens dahulu sering berburu satu sama lain secara berkelompok untuk mendapatkan makanan, mencari tempat tinggal dari tempat ke tempat. Bahkan, hingga hari ini manusia pun tetap berkembang akibat gosip, mitos dan cerita-cerita yang tidak relevan.


Manusia dituntut untuk hidup bersama sosial, itu sesuatu yang tidak bisa disangkal. Setiap individu tidak bisa “seenaknya “hidup dalam bersosial, kita tidak mungkin bertelanjang lalu berkeliling di sekitar lingkungan rumah, maupun berteriak keras akibat memenangkan give away terpilh. Walaupun kedua hal itu bisa dilakukan. Lupakanlah. Semua orang mengetahui artinya.


Sama seperti kita tidak bisa seenaknya saja mengawini istri seseorang, meskipun menyukainya bisa. Dalam artian, kebebasan bersosial pun penuh dengan keterkekangan. Namun, bukan berarti di dalam keterkekangan itu tidak ada kebebasan.


Kebebasan lahir di antara keterkekangan, Christopher Columbus menjelajah pada zaman tersebut menggunakan kapal yang tidak secanggih zaman sekarang, bahkan sangat dimungkinkan jika kapalnya tidak memiliki pemecah gelombang, arus yang berbahaya tanpa terlalu mengetahui medan. Namun, dia tetap mendapatkan kebebasannya.


Homo sapiens, kita bahkan hanya mengonsumsi dari sisa-sisa hewan predator pada zaman dahulu yang memuncaki rantai makanan, lalu perlahan-lahan membuat sebuah penciptaan yang mengubah banyak hal, salah satunya api. Hingga, pada akhirya kita mampu menciptakan beragam hal yang mengukuhkan posisi kita berada di atas piramida hingga saat ini.


Selama Christopher Johnson McCandless memulai pengembaraannya, dalam perjalanan, semua hal yang membuat dia “menceraikan orang tuanya” justru mendapatkan rasa cinta, kebahagiaan dan perasaan damai, dia bertemu dengan orang-orang yang mengisi lubang-lubang di dalam hatinya, salah duanya Westenberg dan Franz Ron, meskipun mengharuskan dia tetap berangkat. Di antara sebuah kebebasan yang dia cari akibat keterkekangan, justru terdapat kebebasan di antara keterkekangan, yaitu bertemu dengan orang-orang lainnya.


Jika itu terlalu sulit, kita bisa mengambil contoh lain, semisal hari senin sampai dengan jumat, kita bersekolah atau bekerja, maka sabtu dan minggu adalah waktu kebebasan yang kita miliki, layaknya kita dapat menikmati makanan hangat di antara pernah merasakan kelaparan dan kedinginan. Itulah “harga” dari kebebasan yang kita miliki.


Imajinasikan saja orang-orang yang berada di penjara dalam sebuah sel akibat perlakuan mereka terhadap sosial di masyarakat, mereka memanglah tidak memiliki “ruang gerak”, yaitu kebebasan. Namun, mereka masihlah dapat bernapas, berbicara dan berpikir sewaktu di dalam sel tahaan atau di dalam penjara, mungkin akibat itulah kita memiliki alasan mengapa penjara diciptakan?


Dalam sebuah artian, kebebasan akan selalu hadir di antara keterkekangan-keterkekangan, meskipun di dalam sel kita tidak dapat melihat kebebasan yang terbentang di luar dari gedung, tidak dapat menatap cakrawala selama 24 jam, tidak dapat menikmati matahari terbenam. Namun, setidaknya masihlah memiliki kebebasan, meskipun hanya berada di dalam gedung suatu ruangan.


Kebebasan tidaklah bisa sepenuhnya kita rasakan dan nikmati selama-lamanya, rasa tersebut akan perlahan-lahan memudar, sama seperti kita datang ke sebuah tempat, anggap saja kita menginginkan hidup di pulau A agar dapat melihat matahari hingga akhir hayat, perasaan itu lambat laun tidaklah lagi “mengagetkan” kita, rasa itu akan berubah menjadi kebiasaan dan kepastian, semua berakibat karena kita telah terbiasa dengan tempatnya.


PERASAAN YANG MEMUDAR JIKA TERLALU LAMA DINIKMATI


Shane Frederick and George Loewenstein meneliti mengenai hedonic adaptation. Mereka menggambarkan seperti para pemenang undian lotre. Memenangkan perjudian sama seperti “kejatuhan durian runtuh” atau “kita hidup di dalam mimpi”, tentu saja kita dapat membeli segala keinginan berupa barang dan bahkan hampir dapat melakukan apa pun yang kita inginkan.


Kita, “manusia”, meringkali tidak bahagia dalam beragam hal akibat tidak pernah terpuaskan atau merasa puas. Di dalam hedonic adaptation, para pemenang lotre terus membeli barang yang mereka inginkan, tetapi mereka tidak pernah puas, alih-alih bahkan mengalami rasa bosan, hingga pada akhirnya pun si pemenang lotre melampiaskan keinginan baru lainnya.


Tidak hanya itu, hedonic adaptation dapat merambah ke segala aspek, sama seperti hubungan percintaan. Seorang laki-laki memiliki keinginan bertemu dengan wanita idamannya, sewaktu mendapat dalam hubungan “perasaan”, lambat-laun rasa tersebut memudar, laki-laki itu telah terbiasa bangun tidur dengannya, laki-laki tersebut telah mengetahui kegiatan sehari-hari dan mengetahui segala-galanya, seperti tidak ada lagi keterkejutan.


Sebagai hasil, proses adaptasi seperti “berlari di treadmill”, tidak akan pernah selesai, terus mengejar sesuatu yang menurut pribadi manusia akan “terpuaskan”, lalu perlahan-lahan rasa menggebu-gebu itu pun mencari pengalihannya.


Apakah kita akan mengingat berapa takaran yang kita minum dalam sehari? Atau berapa botol kemasan yang kita minum? Apakah kita akan menghitung dan mengingatnya? Mungkin saja, tetapi mungkin pula jawabannya sebaliknya. Tujuan kita minum hanyalah agar tidak merasakan dehidrasi, kita telah mengetahui rasa lega dari air yang melewati tenggorokan, bahkan mungkin saja kita tidak sadar jika dalam sehari-hari telah menghabiskan air putih lebih dari 2 liter.


Jika kita menginginkan kebebasan selama-lamanya, hal tersebut akan menjadi kepastian dan kebiasaan. Anggap saja kita pergi menjauh dari kerumunan-keriuhan kehidupan, kita pergi berkelana-menyelam ke pulau di antara samudra atlantik dan pasifik, suatu tempat terpencil dan tidak ada siapa pun. HANYA SENDIRI.


Pada awalnya, mungkin kita akan menulis seperti Chris di atas selembar kayu yang tipis, lalu perlahan-lahan rasa itu akan memudar, semuanya tampak monoton bahkan terasa hambar. Kebebasan yang kita dapatkan telah “memuaskan” hasrat dalam diri kita, hingga pada akhirnya kebebasan yang kita cari telah menjadi kenormalan semata.


Bahkan tulisan akhir dari Christopher Johnson McCandless menjelaskan, “HAPPINESS ONLY REAL WHEN SHARED.”


KEBEBASAN YANG DICARI


Segala dari jawaban akibat kekangan hanyalah satu, yaitu menginginkan “kebebasan”, melepas rantai belenggu, berusaha membuka sel yang merasa seakan menghimpit pikiran maupun badan. Tidak dapat dipungkiri, tanpa hadirnya kekangan, manusia tidak akan mencari arti dari kebebasan.


The Diary of a Young Girl, yaitu catatan harian yang ditulis oleh Anne Frank, seorang anak perempuan berdarah Yahudi yang menjalani kehidupan di Belanda pada masa perang dunia ke-II. Pada saat yang bersamaan, Jerman Nazi mulai meluluh-lantahkan seluruh bangsa Yahudi atas dasar kepercayaan-rasial.


Pada 16 Juli 1942, sekeluarga Anne Frank serta teman dan kerabat dekat yang berjumlah sembilan orang bersembunyi di Annex, suatu tempat yang berada di dibagian belakang bangunan, hanya dipisahkan oleh pintu, di depannya terdapat rak buku, posisi yang terpencil menjadikan tempat tersebut ideal untuk bersembunyi.


Di antara keterkekangan, ketakutan dan kecemasan yang melanda orang-orang Yahudi atas dasar kepercayaan-rasial Jerman Nazi, pembantaian massal pun tak dapat dihindarkan. Pada saat yang sama, Anne Frank menyadari kebebasannya di antara segala kekacauan selama perubahan kurang dari lima bulan, sebuah perubahan seperti menjungkir balikkan 180 derajat kehidupannya.


Catatan itu ditulis olehnya pada Kamis, 19 November 1942, “In the evening when it’s dark, I often see long lines of good, innocent people, accompanied by crying children, walking on and on, ordered about by a handful of men who bully and beat them until they nearly drop. No one is spared. The sick, the elderly, children, babies and pregnant women -- all are marched to their death.


We’re so fortunate here, away from the turmoil. We wouldn’t have to give a moment’s thought to all this suffering if it weren’t for the fact that we’re so worried about those we hold dear, whom we can no longer help. I feel wicked sleeping in a warm bed, while somewhere out there my dearest friends are dropping from exhaustion or being knocked to the ground. I get frightened myself when I think of close friends who are now at the mercy of the cruelest monsters ever to stalk the earth. And all because they’re Jews.”


Berawal dari 16 Juli 1942 – 2 Agustus 1944, kurang lebih 761 hari tulisan terakhir catatan Anne Frank sebelum dia pergi ke Holocaust bersama jutaan orang Yahudi yang akan dibumi hanguskan.


Selama di dalam persembunyiannya, dia merasakan perasaan cinta terhadap Peter van Pels, tulisan pada 23 Februari 1944 menunjukkan wujudnya perasaannya, “This morning, when I was sitting in front of the window and taking a long, deep look outside at God and nature, I was happy, just plain happy. Peter, as long as people feel that kind of happiness within themselves, the joy of nature, health and much more besides, they'll always be able to recapture that happiness.”


Peter van Pels bersama keluarganya bersembunyi di Annex, bergabung dengan keluarga Anne Frank. Mereka memiliki perbedaan umur, hanya saja tidak terlalu jauh.


Selama di dalam persembunyian, Anne mencoba untuk menerima perlakuan ibunya, Edith Frank. Sebelumnya Anne menganggap jika ibunya selalu mengucilkannya akibat pilih kasih kepada kakaknya, Margor Frank. Pola berpikir ibunya yang sangatlah berbeda dengan Anne Frank, membuatnya menulis dalam catatan harian bernuansa “kental” atas ketidakterimaan serta kemarahan, catatan itu pada 13 Juni 1944, “What's so difficult about my personality is that I scold and curse myself much more than anyone else does; if Mother adds her advice, the pile of sermons becomes so thick that I despair of ever getting through them. Then I talk back and start contradicting everyone until the old familiar Anne refrain inevitably crops up again: "No one understands me!" Namun, seiring berkembangnya waktu, Anne pun mencoba untuk memahami ibunya dan menerima kakaknya.


Tidak hanya itu, perkembangan kepribadiannya selama dalam persembunyian membuatnya lebih premature dewasa dari umurnya, catatan itu ditunjukkan pada 15 Juli 1944, “So if you're wondering whether it's harder for the adults here than for the children, the answer is no, it's certainly not. Older people have an opinion about everything and are sure of themselves and their actions. It's twice as hard for us young people to hold on to our opinions at a time when ideals are being shattered and destroyed, when the worst side of human nature predominates, when everyone has come to doubt truth, justice and God.”


Tulisan kebahagiannya terasa pada 7 Maret 1944, “In spite of everything, I wasn't altogether happy in 1942; I often felt I'd been deserted, but because I was on the go all day long, I didn't think about it. I enjoyed myself as much as I could, trying consciously or unconsciously to fill the void with jokes.”


“Looking back, I realize that this period of my life has irrevocably come to a close; my happy-go-lucky, carefree school days are gone forever. I don't even miss them. I've outgrown them. I can no longer just kid around, since my serious side is always there.”


“I lie in bed at night, after ending my prayers with the words "Thank you, God, for all that is good and dear and beautiful" and I'm filled with joy. I think of going into hiding, my health and my whole being as das Cute; Peter's love (which is still so new and fragile and which neither of us dares to say aloud), the future, happiness and love as das Liebe; the world, nature and the tremendous beauty of everything, all that splendor, as das Schone.”


Di antara ketakutan, kecemasan dan keterkekangan-kebahagiaan yang melahirkan kebebasan dalam pola berpikir Anne pun mengubah cara pandangnya untuk memahami kesengsaraan, penderitaan dan kebosanan.


Dia pun mencoba menyesuaikan terhadap problematika yang sedang bergejolak, pada usia belia 15 tahun terpaksa ikut dalam masa-masa “kritis”, pola berpikir tersebut yang membuatnya terbebas di antara segala kekacauan-keriuhan.


Pada 4 Agustus 1944, Annex ditemukan oleh polisi rahasia Belanda, seisi Annex dibawa ke kamp konsentrasi Nazi, kematian Anne Frank diduga akibat sakit tifus pada 1945, hanya satu orang dari seisi Annex yang selamat atas kekacauan tersebut Otto Frank ayah dari Anne Frank.


Tanpa dipungkiri hadirnya keterkekangan, membuat manusia mencari makna kebebasan-kebebasannya sendiri. Jika Homo sapiens pada zaman dahulu langsung berada di tingkatan tertinggi dari rantai makanan, mungkin saja kita tidak akan pernah berpikir untuk menciptakan tombak batu, api dan sebagainya atau bahkan mungkin hingga sekarang kita kurang menikmati rasanya kekenyangan.


Begitu pula dengan dunia utopis yang diinginkan oleh Christopher Johnson McCandless, yaitu suatu dunia tanpa memiliki permasalahan, dia mungkin tidak akan pernah menuju ke Stampede Trail, Alaska.


Jika kita membahas mengenai dalam hal kebebasan perekonomian, orang-orang yang memiliki materi berlebih dalam hal spesifik uang, mereka masihlah memiliki “dinding-dinding” penghalang, seperti permasalahan-permasalahan dalam hubungan sosial dan bisnisnya. Maka dapat dikatakan, kebebasan dalam perekonomian tidaklah menjawab pertanyaan, “betapa bahagianya lahir ke dunia ini!”


Jika manusia mengganggap kebebasan adalah kestabilan perekonomian, maka Christopher Johnson McCandless tidak akan pernah memusingkan permasalahan dunia ini, dia tidak akan pernah berkelana ke sana kemari hanya agar mencapai tujuannya.


Kebebasan ruang gerak dalam sebuah tindakan, keinginan hidup setinggi-tingginya melebihi Burj Khalifa agar dapat melihat segala penjuru keluasan dunia, ataupun menyelam di Palung Mariana agar dapat melihat kedalaman dunia, atau bahkan keinginan hidup sendiri tanpa bersosial. Pada akhirnya manusia pun akan merasakan kesepian. Manusia tidak mungkin dapat hidup dalam rasa kesepian untuk waktu yang lama, kita pun masihlah dapat berkomunikasi meskipun bukan sesama manusia, seperti hewan ataupun tumbuhan.


Christopher Johnson McCandless bertujuan untuk menulis surat agar meluapkan segala emosi yang berada di dalam pikirannya, membawa buku-buku yang dipelajari olehnya agar menemani dalam petualangan hebatnya, keinginannya terbebas dari ikatan kemanusiaan, tidak disangka, dia menumpang dari tempat ke tempat, mobil ke mobil, tanpa berbicara selama 36 hari. Lalu, dia pun bekerja di McDonand’s.


Anne Frank bertujuan untuk menulis catatan harian agar menumpahkan emosinya, maupun sebagai pengingatnya di kemudian hari. Dia memiliki harapan untuk menjadi seorang penulis jika berumur panjang. Namun, perang dunia ke-II mengekang harapan itu, “mengebirikan” mimpi-mimpi yang dia inginkan. Harapannya terwujud ketika dia menghilang-lepas dari kehidupan, sampai hari ini, Anne Frank mendapatkan kebahagiaan-kebebasannya dalam The Diary of a Young Girl yang telah dibaca oleh berjuta manusia.


Paradoks keterbatasan-keterkekangan


Pada zaman dahulu Homo sapiens, sebelum memuncaki rantai makanan, kita masihlah makan dari sisa-sisa hewan ganas. Namun, akibat keterbatasan itu, kita pun mencari alternatif lain untuk mendukung perjuangan kita selama mencari makan, terciptalah tombak batu hingga api.


Akibat keterbatasan-keterkekangan manusia dapat menjalani kehidupan. Meskipun perlahan, namun gerakannya pasti. Pada 1990-1992, Christopher Johnson McCandless menjalani hidup penuh dengan keterbatasan (jika dilihat dari sudut pandang kita). Dia membutuhkan uang, sehingga bekerja sementara. Dia membutuhkan tumpangan, sehingga mau ataupun tidak harus bertemu dengan manusia lainnya. Dia pun bahkan dapat dikatakan sewaktu “pengelanaannya” mendapatkan beragam “pencerahan” dari orang-orang asing. Dia masihlah dapat hidup, meskipun berakhir di tanah keinginannya.


Anne Frank menulis di dalam buku catatannya pada Kamis, 19 November 1942, “I'm not exactly delighted at having a stranger use my things, but you have to make sacrifices for a good cause, and I'm glad I can make this small one. "If we can save even one of our friends, the rest doesn't matter," said Father, and he's absolutely right.”


Di dalam kecemasan, ketakutan dan keterkekangan, keluarganya pun berusaha sekuat mungkin untuk menciptakan kebebasan bagi orag lainnya, agar “seperahu” dengan mereka menikmati di dalam Annex.


Semua contoh itu karena keterbatasan-keterkekangan, tanpa hadirnya kedua hal tersebut, manusia tidak akan menginginkan suatu kebebasan, memiliki sebuah harapan. Lebih tepatnya, keterbatasan-keterkekangan itulah yang merangsang kita agar terus meluncur maju.


Sebelumnya saya katakan bahwa, kebebasan yang kita cari bukanlah berada pada eksternal diri kita, melainkan internal badan yang kita miliki, seperti pikiran dan jiwa. Pada 24 Mei 1944, Anne Frank menuliskan di dalam catatannya sewaktu mengetahui orang-orang Yahudi dikirim menuju ke Holocaust, “The world's been turned upside down. The most decent people are being sent to concentration camps, prisons and lonely cells, while the lowest of the low rule over young and old, rich and poor. One gets caught for black marketeering, another for hiding Jews or other unfortunate souls. Unless you're a Nazi, you don't know what's going to happen to you from one day to the next.” Ketika dia berada di dalam Annex dengan segala kenyamanan bersama orang-orang terdekatnya, mereka pun terus merasakan tekanan setiap harinya, merasakan ketakutan jika tempat tersebut nantinya akan diketahui oleh polisi militer.


Di dalam artian, setiap manusia haruslah “berselancar” di atas keterkekangan tersebut, keadaan itu seperti ungkapan, “mau-tidak mau haruslah dijalani”. Manusia menginginkan kebebasan dalam ruang gerak, pergilah, lalu kembali dalam kegiatan sosial serta kegiatan-kegiatan lainnya yang harus dilakukan. Sewaktu kita pergi “sebentar” itulah kebebasan yang kita miliki, jika berbicara mengenai kebebasan di luar pikiran atau eksternal diri kita.


Pada saat di mana Christopher Johnson McCandless memiliki beragam pelik prmasalahan yang berpendar di dalam kepala, semua tenaga, materi dan pikiran yang digunakannya untuk membantu orang-orang agar dapat menyelesaikan sedikit permasalahan dunia sekitarnya, “On another occasion Chris drove over to Hathaway’s house and announced they were going downtown. “Cool!” Hathaway remembers thinking. “It was a Friday night, and I assumed we were headed to Georgetown to party. Instead, Chris parked down on Fourteenth Street, which at the time was a real bad part of town. Then he said, ‘You know, Eric, you can read about this stuff, but you can’t understand it until you live it. Tonight that’s what we’re going to do.’ We spent the next few hours hanging out in creepy places, talking with pimps and hookers and lowlife. I was, like, scared.” Pada saat itu Chris masih mampu berselancar di atas segala keterkekangan-permasalahannya.


Rasa yang terlalu sering akan menjadi sebuah kebiasaan, jika kita menginginkan kebebasan, lalu mendapatkannya, hingga bermesraan dengan kebebasan, perlahan-lahan rasa itu pun akan memudar, seperti “seseorang yang memenangi lotre”. Lalu, pada akhirnya manusia-manusia itu pun mencari pengalihannya untuk kembali mencari “kebebasan-kebebasan” lainnya.

Jika manusia terus bekerja atas dasar “menginginkan kelak hidup penuh dengan kenyamanan,” di sela-sela waktu sebentar ataupun jam istirahat, itulah kebebasan yang kita miliki, bukan jam yang tidak terbatas dalam kehidupan agar kita dapat bersenggama menghabiskan waktu lalu menikmati segalanya, maka mungkin dari itu terdapat pembagian antara pagi dan malam.


Sebelum keterkekangan justru melahirkan harapan, harapan-harapan itulah yang membuat manusia ingin melakukan sesuatu, tanpa dipungkiri, manusia tidak memiliki harapan hanya akan menjadi kosong atau dapat dikatakan hampa. Dia seperti berjalan ke arah tidak menentu, hanya mengikuti arus, hingga pada akahirnya kembali dalam wujud pengulangan seperti sebelumnya.


Di dalam Diary of a Young Girl, pada 29 Oktober 1942, dia menuliskan, “I'm very worried. Father's sick. He's covered with spots and has a high temperature. It looks like measles. Just think, we can't even call a doctor! Mother is making him perspire in hopes of sweating out the fever.”


Beberapa hari kemudian, ayahnya, Otto Frank dan Edith Frank sembuh dari penyakit. Anne pun dapat kembali menenangkan dirinya. Tidak peduli, seberapa menumpuknya kebencian terhadap ibunya, dia tetap berusaha agar tidak menyakiti perasaan ibunya.


Chris memiliki suatu harapan, di mana dia menciptakan dunianya sendiri, sebuah dunia tanpa adanya permasalahan, dunia memutus rantai hubungan ikatan, dunia tanpa adanya uang (mungkin). Di dalam pikirannya, kekekangan-kekangan sebelumnya tidaklah “benar-benar” membebaskannya. Namun, di antara keterkekangan itu, dia pun menciptakan suatu harapan akan kebebasan, meskipun di dunia kebebasan utopisnya penuh dengan keterkekangan.


Jika saja kita membalik, bahwasannya Christopher Johnson McCandless telah mendapatkan segala keinginannya sebelum ke Stampede Trail, dia menjadi lulusan terbaik dari Universitas Emory dengan sebuah penghargaan, tentunya tidak dapat dipungkiri dengan otak jeniusnya akan menciptakan suatu harapan di antara keterkekangan-keterkekangan orang lainnya, sama seperti yang dia lakukan pada malam Jumat dengan Hathaway.


Andai saja Chris berkebalikan, dia tidak merasakan keterkekangan, dia mungkin hanya melakukan kehidupan yang sama dalam kegiatan sehari-hariya, bangun lalu pergi ke kantor, pulang dan berlari dengan anjing yang dia miliki bernama Bucky, pada akhirnya dia tertidur kembali.


Kehidupannya hanya akan terasa seperti “pengulangan-pengulangan” semata, tidak ada sesuatu yang ingin diperjuangkan, sedangkan sejak awal kita para Homo sapiens saja berjuang untuk mencari makan, meskipun disisakan oleh hewan-hewan lainnya hanyalah tulang belakang. Namun, kita masihlah dapat berkembang biak hingga sekarang.


Jika saja, Anne Frank selamat dari genosida, melewati kamp konsentrasi, sekarang dia mungkin akan tersenyum-pedih membaca tulisan catatannya, dia mungkin akan sering kita tonton di YouTube mengenai kesehariannya, mengenai cerita-ceritanya sewaktu di kamp konsentrasi. Namun, kita tidak sempat untuk menatapnya, kita hanya sempat membaca melalui tulisannya untuk membayangkan keterkekangan yang memiliki kebahagiaan, memunculkan harapan, lalu melahirkan kebebasan di dalam dirinya.


KEBEBASAN EKONOMI DAN POPULARITAS BUKANLAH KEBEBASAN


Kurt Donald Cobain lahir pada 20 Februari 1967 di Aberdeen. Dia lahir memiliki berat sekitar 3,5 kilogram dengan rambut dan kulit berwarna gelap. Lima bulan kedepannya, rambutnya berubah menjadi pirang dan warna kulitnya pun cerah serta memiliki sepasang mata berwarna biru.


Buku yang ditulis oleh Charles R. Cross dengan judul Heavier Than Heaven memerlukan lebih dari 400 wawancara yang dilakukan selama 4 tahun. Sebuah judul berdsarkan nama yang diambil dari konser Nirvana dengan Tad Doyle sewaktu di Inggirs.


Sewaktu Kurt berusia 3 tahun, adiknya lahir bernama Kimberly Cobain, Kurt menaruh perhatian dan kasih sayang terhadap adiknya. Bahkan, itu menandai awal terbentuk karakter pribadi yang melekat pada diri Kurt hingga akhir hayatnya, yaitu peka terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain yang agak berlebihan.


Kurt terus bergerak aktif dan tidak bisa diam, ketika dia kelas dua SD, guru dan orang tuanya mengambil kesimpulan bahwa energi Kurt yang tidak ada habisnya kemungkinan bersumber dari adanya gangguan medis yang serius. Dokter memberi resep Ritalin kepada Kurt, itu adalah hal yang kontroversial, pemberian Ritalin akan menciptakan respons Pavlovian pada anak dan meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku adiktif dalam kehidupannya kelak.


Pada 1976, seminggu ulang tahun Kurt yang ke-9, Wendy (ibu Kurt) menyampaikan pada Don (ayah Kurt) bahwa dia ingin bercerai. Bagi Kurt, perceraian semacam bencana emosional, tidak ada satu kejadian pun di dalam kehidupannya yang memiliki lebih banyak dampak terhadap pembentukan kepribadian kecuali perceraian keluarganya.


Seperti yang diungkapkan Mari (adik Wendy), “Dia berpikir ini semua salahnya. Dia memikul banyak beban rasa bersalah,” ungkap Mari. “Ini traumatis bagi Kurt, lantaran dia menyaksikan sendiri segala sesuatu yang selama ini dia yakini, rasa nyaman, keluarga dan urusannya sendiri terurai di depan matanya.”


Seiring berkembangnya waktu, setelah melewati perjalanan panjang, keluar dari rumah, berpindah-pindah tempat, menginap dari rumah ke rumah, Kurt memulai membuat band. Dia pun memiliki bakat alami terhadap seni melukis, memahat hingga menciptakan lirik dari musik. Lirik-liriknya yang penuh makna, hanya diketahui oleh penulisnya semata.


Tidak lama setelah Nirvana merilis album kedua, dia dianggap sebagai penulis lagu terhebat dalam generasinya. Padahal dua tahun sebelumnya, dia dipecat dari pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih kandang anjing.


Kurt dahulu yakin, pengakuan terhadap talentanya akan menyambuhkan banyak luka batin yang ditimbulkan oleh kehidupannya semasa kecil. Namun, kenyataannya, kesuksesan itu justru telah membuktian kelalaiannya dan menambah perasaan bersalah yang selama ini dia rasakan, karena popularitas pesat tersebut diimbangi dengan kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan terlarang yang semakin lama semakin parah


Kalimat, “I hate myself and I want to die,” sudah sering diucapkan maupun ditulis oleh Kurt sebelumnya. Bayangan masa lalu berdasarkan perceraian, kurangnya perhatian kepadanya semasa kecil membuat gejolak pada daya psikologis yang dia miliki. Orang-orang yang menyayanginya begitu banyak masih belum dapat membebaskannya, keluarga yang mapan serta istri yang selalu mendukung pun masih belum cukup menariknya dari “jurang” keinginan Kurt.


Kematian Kurt Cobain dengan segala kontroversi antara dibunuh ataupun bunuh diri, dalam Heavier Than Heaven bahwa Kurt Cobain melakukan bunuh diri, setelah menggunakan obat-obat yang di luar dari dosis “kenormalannya”.


Beragam pencapaian yang didapatkannya, keuangan yang melimpah, sebelumnya Kurt sehabis perceraian keluarga dia jaranglah makan, kehadiran Nirvana seperti mengisi kehidupannya, teman-teman yang selalu ada di sampingnya pun masih belum dapat membebaskan, anak dan istri yang dia miliki belum dapat membuat Kurt terbebas dari “rasa sakit” yang membelenggu pikirannya.


BUKAN KOMPARASI


Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, mencari kebebasan di luar pikiran hanya akan membuat kita tidak pernah “menggapainya”. Kita mencari kebebasan dengan harapan agar keluar dari “kerangkeng ilusi”, senyatanya kerangkeng-kerangkeng tersebut kitalah yang membuatnya, kita yang mengizinkan untuk mengerangkeng pikiran milik kita.


Christopher Johnson McCandless dan Anne Frank, memiliki kesamaan, meskipun terdapat perbedaan umur yang membentang. Chris pembaca yang baik, di antaranya; Jack London, Leo Tolstoy, Nikolai Gogol, dan lain-lain; Anne Frank pun demikian menuliskan genre-genre bukunya yang dibaca pada 16 Mei 1944, di antaranya; “Shorthand in French, English, German and Dutch, geometry, algebra, history, geography, art history, mythology, biology, Bible history, Dutch literature; likes to read biographies, dull or exciting, and history books (sometimes novels and light reading)”.


Mereka berdua memiliki perbedaan dalam rentang umur. Namun, mereka memiliki kesamaan yang sama dalam menatap permasalahan dunia. Perbedaannya, Christopher Johnson McCandless mencoba untuk mengubah permasalahan yang terjadi di luar kemampuannya, Anne Frank berusaha untuk menerima Perang Dunia ke-II yang sedang terjadi.


Sangatlah tidak adil jika kita menimbang “siapa yang lebih menyakitkan” dan “siapa yang terlalu melebih-lebihkan”. Perlu di garis bawahi, bahwasannya perbedaan secara nyata antara Anne Frank dan Christopher Johnson McCandless adalah dalam “menyikapi suatu permasalahan”.


Di dalam Diary of a Young Girl, terlihat secara jelas, jika Anne Frank mencoba untuk bertahan dalam segala gempuran, meskipun itu sesuatu yang dipaksakan dan penuh kegeraman, dia berusaha untuk mencapai ketenangan di antara segala kekacauan, sebuah kondisi yang jauh di luar nalar kita zaman sekarang. Bayangkan saja, memikirkan ketakutan setiap hari jika terungkap tempat persembunyiannya (Annex), lalu dibawa ke kamp konsentrasi.


Di dalam Into The Wild, terlihat secara jelas, jika Christopher Johnson McCandless berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip kehidupannya. Namun, dia pun rela menerima di antara rasa sakit hati terhadap keluarganya, dia tetap berusaha untuk “memeluk” sesuatu yang mengganggunya. Bayangkan saja, setiap hari kita menjalani suatu kegiatan bukan berdasarkan hati, tapi akibat suatu paksaan.


Mereka berdua sama-sama dalam keadaan “mengenaskan” tidak ada yang “lebih” atau “kurang” karena hal itu tidak bisa ditakar, bukan seperti menghitung berat bawang yang dibeli di pasar. Bukan. Sekarang yang menjadi pertanyaan, mengapa Anne Frank mampu bertahan dalam rasa sakit permasalahan ketimbang Christopher Johnson McCandless?


Jawabannya, semua diakibatkan suatu “penerimaan”. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, Christopher Johnson McCandless mencoba untuk “lepas” dari dunia asli, dia menciptakan dunai utopisnya sendiri. Berbeda dengan Anne Frank, dia menerima semuanya, entah terdapat paksaan maupun tidak, entah akibat suatu ruang maupun tidak, dia menerima berita-berita kematian orang-orang Yahudi, dia mencoba menerima berbagai tempat untuk orang lain di dalam satu ruangan, meskipun orang tersebut menyebalkan.


Sebuah penerimaan hanya akan dilewati jika seseorang tersebut “menginginkan” penerimaannya. Dalam artian, jika saja Christopher Johnson McCandless menerima segala konflik perceraian ayahnya yang pertama, Walt dan Marcia, lalu mampu menerima berita-berita yang menyedihkan datang dari luar, maupun melihat orang-orang yang sedang kelaparan. Tentu saja, sewaktu dia di Chesapeake Beach berusaha untuk “membantu” orang-orang tersebut. Ingat! Christopher Johnson McCandless memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi.


Sebuah penerimaan bukanlah fatalis, bukanlah kepasrahan. Penerimaan di sini karena “memang terjadi” bukan sesuatu yang “akan terjadi” dua kata tersebut sangatlah berbeda. Dalam sebuah contoh, Anne Frank menerima apa pun yang terjadi selama Perang Dunia ke-II, Christopher Johnson McCandless pun demikian menerima apa pun yang terjadi selama masa sehabis SMA, dipaksa untuk berkuliah.


Penerimaan sejatinya berasal dari “akal sehat” yang berarti pikiran, entah menimbang-nimbang baik maupun buruknya. Namun, secara garis besar suatu penerimaan berada di dalam pikiran. Lalu, arti dari kebebasan? Semua orang berbeda-beda, tapi sama-sama sedang mencarinya.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Krakuer, Jon. (1996). Into The Wild. United States: Villard.

  2. Frank, Anne. (1952). The Diary of a Young Girl. Belanda: Bantam.

  3. Harari, Yuval N. (2015). Sapiens: A Brief History of Humankind. New York: Harper.

  4. Cross, Charles R. (2001). Heavier Than Heaven. United States: Hyperion.

Commentaires


Sins of My Knowledge

  • Instagram

© 2021 by Dewantoro. Proudly created with Wix.com

SOMK - Newsletter

Thanks for submitting!

bottom of page