Hidup yang Terasa Membosankan
- Baskhoro Dewantoro
- Jul 19, 2021
- 5 min read
Tulisan ini bukanlah kebenaran―yang berarti dapat salah. Namun, bukan berarti tidak sepenuhnya benar―yang berarti dapat benar.
“Everything we hear is an opinion, not a fact. Everything we see is a perspective, not the truth.” - Marcus Aurelius on Meditations.

Pertama kali mendengar dari seseorang yang mengatakan jika, “Kehidupannya terasa membosankan”. Dia melewati hari yang seolah hanya mengulang-ulangi kegiatan. Perlahan, dia baru menyadari―dia merasa “tidak puas” atas jalan kehidupannya, tidak puas terhadap segala kegiatan yang sedang dilakukannya.
Ironisnya, kehidupan yang dia miliki berada dalam serba “kepuasan” jika dilihat (dalam perspektif sendiri), meski ungkapan kepuasan bukan berarti “pemilik segalanya”. Setidaknya, dia dapat menikmati hiburannya, mengisi perut lebih tiga kali dalam sehari. Bahkan, waktunya untuk beristirahat memiliki jeda yang panjang―walau tak sepanjang “Putri tidur”, melainkan lebih dari manusia-manusia modern lainnya.
Kondisi tersebut dan tentu saja membuat saya bertanya-tanya, “Mengapa dia kebosanan?” Semakin lama―menjadi semakin dalam, pertanyaan itu pun berkembang, “Apakah ada yang salah dengan saya? Seharusnya bosan tetapi justru menikmati kebosanan?” Ini membuat saya menggali lebih dalam, mengenai apa yang saya pikirkan.
Pergeseran dari Makan
Kita harus melihat kebelakang, sebentar, “Yup! Just a little bit about history―I know you are probably thinking. But, let hear me out.” Pada dahulu, Homo Sapiens atau dapat dikatakan ‘kita’―mencari makan dengan berburu, jauh sebelum pemburu-pengumpul ada.
Perburuan menjadi ciri kita agar dapat bertahan hidup, kata-kata itu dapat di bebas tafsirkan seperti, mau atau tidak―haruslah mencari makan agar dapat mengisi perut dan tentunya agar dapat melanjutkan kehidupan. Itu sesuatu yang pasti dan harus atau dapat dikatakan wajib.
Fokus ‘kita’ pada kala itu―Homo Sapiens, “Bagaimana cara kita untuk tidak kelaparan”―di sisi lain, mungkin kita sering menghabiskan waktu untuk bergosip. Yup! Perlahan, atas suatu tekanan yaitu karena kita berada di tingkat rantai makanan terbawah, kita dapat menciptakan sesuatu yang mendukung perburuan, seperti: jarum, benang, tombak, api hingga perahu (tentunya ini tidak semua dan tidak seurut itu).
Pada masa berburu, ‘kita’ yaitu Homo Sapiens―sesuatu yang paling penting yaitu kita hanya perlu mengetahui cara berburu, semua orang pun melakukan hal yang sama. Tenaga dan pikiran dikerahkan untuk belajar berburu. Pada waktu itu, kita tidak ada sama sekali berpikiran untuk berpakaian agar tampil mengagumkan seakan homogen atau ciri kesamaan menjadi ciri nature manusia.
Semuanya melakukan hal yang sama, hingga pada akhirnya Homo Sapiens memiliki “spesifikasi” yang berbeda―tidak hanya berburu tetapi pemburu-pengumpul. Mereka hidup di atas suatu tanah, jarang berpindah-pindah tempat, setidaknya menetap di satu tempat yang lebih lama ataupun cepat.
Semakin besar kita mendapatkan daging―semakin mudah kita untuk bertahan, kita membagi-bagikan kepada sanak famili yang memiliki hubungan kekerabatan, itu mengindikasikan kita memiliki rasa sosial, bergosip pun demikian. Ini sudah menunjukkan bukti konkret bahwa kita yaitu social creature.
Kata-kata makan, seperti menjadi “bensin” hanya untuk bertahan hidup. ‘Kita’ yaitu Homo Sapiens bertahan antara membunuh atau dibunuh hanya itu saja. Bayangkan, setiap hari kita harus berurusan dengan singa-singa buas untuk membunuh hewan cupu, padahal dapat saja hewan itu tidaklah cupu―melainkan gerakannya telah kita ketahui, telah kita hafal.
Dari seek adventure berburu makan, perlahan Homo Sapiens merambah ke hal-hal lainnya, tidak hanya berbicara rasa kenyang, “Melainkan, tujuan apa kita dihadirkan di dunia ini? Hingga saat ini?”
Cermin Penilaian
Well, sosial media yang seolah tak bisa “ditampung”, membuat setiap orang dapat mengetahui kegiatan aktivitas orang lainnya, seakan rahasia pun bukanlah sesuatu yang rahasia―”you know what I mean, right?” Semuanya dapat melihat kehidupan orang lain meskipun hanya sebatas highlight atau dapat saya katakan, “cangkang depan”―lalu merefleksikan ke gambaran kehidupannya yaitu keadaannya.
Dari itu semua, highlight ke refleksi timbullah kata-kata “bosan”, merasa gambaran kehidupan orang lain yang dia lihat atau kita lihat seakan extraordinary, interesting and having freaking fun! Sedangkan kehidupan yang dia atau kita jalani tampak pathetic, sad and freaking boring.
Sebenarnya, tidak ada perbedaan. Sebenarnya. Namun, ada ciri khusus yang menyebabkan mengapa dia dapat terlihat extraordinary, interesting and having freaking fun! Di antara lainnya: orang yang menjalani―merekam nilai-nilai yang dianggapnya membawa manfaat, memberikan suatu nilai bagi dirinya dan dibagikan (ini dapat diinterpretasikan ke hal-hal yang berbeda dan seringnya menjadi permasalahan).
Suatu contoh, kita melihat seseorang yang membagikan fotonya di sosial media sehabis workout dengan caption: Daily routine! Kita melihat fotonya―tanpa menyadari kita pun merefleksikan ke dalam kehidupan kita―jika kita tidak masalah maka itu tidak akan menjadi masalah. Namun, jika itu menjadi masalah―pada akhirnya kembali ke diri kita.
Semakin lama kita menyadari, jika kehidupan kita tidaklah begitu “menyenangkan” dan terkesan membosankan, pathetic, sad and freaking boring!―jika terus berada di tempat itu perlahan akan menuju ke dalam kerapuhan.
Individu modern, lebih memasuki inti atau lebih dalam memandang kehidupan. Bertanya, mengenai tujuan dilahirkan―bahkan sekarang mencoba untuk menciptakan in vitro dan lain sebagainya. Beberapa manusia pun memiliki sifat yang tidak pernah puas, tetapi bukan berarti selalu puas itu hal yang benar, begitu pula sebaliknya―mengambil jalan tengah selalu merupakan alternatif.
Nilai yang terkait―dan yang hanya mengetahui yaitu individu tersebut. Dia yang dapat mengukur nilai dalam dirinya, dia pula yang sudah seharusnya mengetahui arah dan tujuannya. Namun, tidak semua berjalan semudah itu dan tidak pula seberat yang sedang dipikirkan olehnya.
Death Zone
Bosan dengan “rasa nyaman”, bahwa dia atau kita tidak menyadari jika comfort zone telah berubah menjadi death zone dan itu membuatnya selalu terlena―berakhir dia atau kita tidak mengetahui apa lagi yang akan dilakukan.
Manusia memiliki sifat nature yang di mana jarang merasakan puas bahkan lebih parahnya menaruh ekspektasi yang tinggi. Beberapa filosofi telah memberikan gambaran agar tidak terlena dalam kepuasan, bahkan menekan rasa itu pula.
Buddha mengajarkan untuk menggapai ketenangan dalam pikiran―Stoic pun demikian dan lebih ke arah “mencegah dan dapat mengontrolnya”. Keduanya memiliki perbedaan, tetapi memiliki tujuan yang sama.
Manusia “kesulitan” untuk keluar dari kebosanan, mereka mencari jalan itu jika tempat kenyamanannya terasa membosankan. Sebelumnya, comfort zone lah yang membuat itu―membuat kita semua terlena, membuat kita menyadari pula. Sekalipun menyadarkan kita untuk melihat ke dalam kehidupan yang pathetic, sad and freaking boring! Jika dia atau kita ingin berubah, maka dapat tumbuh―begitu pula sebaliknya.
Kenyataan yang Pahit
Alan Watts menjelaskan Backward Laws prinsip ini mengusulkan gagasan bahwa semakin seseorang mencoba untuk menghilangkan atau melarikan diri dari pengalaman negatif hidup, justru semakin negatif dan tidak berubah.
Sebaliknya, semakin seseorang menghadapinya dengan rela dan sengaja, semakin kuat dan semakin siap mereka―secara tidak langsung semakin bermakna dan positif rasa sakitnya.
Sebenarnya pertanyaan yang tepat menurut pribadi, “Bagaimana cara mengatur rasa kebosanan itu?”
Ada yang benar-benar tidak menginginkan kebosanan, dia mencari jalan melalui apa pun agar tidak bertemu dengan kebosanan―artinya, dia berusaha sekuat apa pun untuk tidak merasakan bosan. Sehingga, berusaha untuk tidak terjebak―sebenarnya semakin dia mencoba, perasaan kebosanan itu semakin mengikatnya.
“Lalu bagaimana?” Satu-satunya alternatif yaitu menurunkan standar penilaian serta bereaksi terhadap keadaan. Jika menganggap bosan atas karena kehidupan tidak seperti orang-orang yang extraordinary, interesting and having freaking fun! Turunkanlah standarnya. Bahkan, jangan pernah berharap akan mendapat kehidupan seperti golden gate.
Ketika kita mendapatkan perasaan senang itu adalah bonus, itu pula yang harus digaris bawahi yaitu tidak menaruh tinggi ekspektasi di dalamnya.
Kita tahu tentang nilai kita, tentunya kita akan melakukan sesuatu untuk diri kita―nilai seperti mendorong kita, dia menjadi bensin. Di sisi lain, dia menjadi api dalam diri kita agar menuntun ke jalan yang memang dapat kita rasakan, meski belum mendapatkannya.
Sumber
Harari, Yuval N. (2015). Sapiens: A Brief History of Humankind. New York: Harper.
Irvine, Willian B. (2008). A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy. Inggris: Oxford University Press.
YouTube
Better Ideas: https://www.youtube.com/watch?v=-dYgnvrvQ3M
Einzelganger: https://www.youtube.com/watch?v=O42tZse-P6w
Mark Manson: https://www.youtube.com/watch?v=srmtGrEIYBs
댓글